BERANDA

Jumat, Juli 23, 2010

MEREKAP AMAL SEBELUM BERPUASA

PostDateIcon Tuesday, 30 November 1999 00:00 | PDF Print E-mail

Dalam beberapa hari mendatang, bulan suci Ramadhan akan segera menghampiri kita. Kita menganggap, Ramadhan adalah tamu agung yang perlu mendapat penghormatan yang layak. Siapapun, selama dia masih memiliki iman, akan merasa sangat gembira jika Ramadhan datang.

Banyak cara dan pendekatan yang dilakukan dalam mengahapi tamu agung tersebut. Ada yang meminta maaf dan memaafkan antar sesama teman, hadai taulan, keluarga dan lain-lain. Bahkan dalam tradisi keberagamaan masyarakat kita, sebelum memasuki bulan Ramadhan, sebagian kita melakukan ”nyekar” atau berziarah ke makam-makam keluarga yang telah wafat, atau makam-makam keramat, seperti makam Walisongo, Ulama atau orang yang dianggap wali.

Tentu, semua tradisi keberagamaan tersebut bertujuan mulia, yaitu adanya kesadaran spiritual dimana untuk menghadapi Ramadhan diperlukan langkah atau cara agar secara spiritual Ramadhan dapat disambut secara lebih baik. Tradisi saling memaafkan adalah contoh yang begitu baik --meski saling memaafkan tidak terbatas waktunya-- karena memaafkan adalah potret kesadaran batin yang cukup mendalam. Memaafkan kepada sesama adalah potret ideal seorang beriman. Selain dapat menghapus dosa saudaranya yang meminta maaf, memaafkan dapat membentuk jiwa yang lembut, santun dan penuh dengan ketenangan karena hilangnya perasaan sakit hati atau dendam.

Sedangkan tradisi ”nyekar” atau berziarah di makam (kuburan) keluarga atau ulama yang telah wakaf merupakan gambaran spiritual seseorang akan pengingatan atas kematian yang kelak akan menghampirinya. Secara hukum, ziarah kubur hukumnya sunnah jika untuk melembutkan hati dan mengingatkan kepada akhirat, dengan syarat tidak dicampuri dengan suatu kemungkaran seperti niyahah/meratap, dibakarnya kemenyan/dupa, dinyalakannya lampu-lampu, meminta-minta kepada si mayit, minta berkah, dan amal syirik lainnya. Dalam sebuah hadits Nabi disebutkan: "Berziaralah ke kuburan dan janganlah mengatakan sesuatu yang tidak layak." (HR Ibnu Majah dari Zaid bin Tsabit), dan beliau juga bersabda : "Berziarah ke kubur karena hal itu mengingatkan kalian padakhirat." (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Namun, terlepas dari tradisi keberagamaan dalam menghadapi datangnya Ramadhan tersebut, ada satu hal yang mesti kita lakukan, yaitu upaya menimbang amal sebelum berpuasa. Yang dimaksud dengan menimbang amal dalam tulisan ini adalah perlu adanya kesadaran spiritual untuk mengintrospeksi diri sebagai upaya mengetahui, seberapa banyak amal baik dan amal buruk (dosa) kita? Tentu, secara matematis, kita tidak akan pernah dapat membandingkan seberapa besar atau seberapa kecil amal yang pernah kita lakukan. Namun, proses spiritual ini berfungsi untuk mengukur secara kualitatif seberapa besar dan kecil tingkat ketaatan dan kemungkaran yang pernah kita lakukan. Karena tingkat ketaatan dan kemungkaran hanya dapat diketahui oleh Tuhan dan kita sendiri.

Kenapa kita memerlukan? Karena bulan Ramadhan yang mewajibkan kita berpuasa itu datang rutin setiap tahunnya. Tidak pernah dalam setahun Ramadhan absen menghampiri kita. Nah, jika kita tidak mau dan mampu menimbang amal-amal versi diri kita sendiri dengan jujur, maka kita tidak akan pernah dapat membandingkan tingkat ketaatan dan kemungkaran yang pernah kita lakukan. Meminjam pendekatan statistik, kita harus mampu membuat indeks ketaatan (ketakwaan diri kita) setiap tahunnya.

Kita tentu ingat, salah satu hadis Nabi yang sering disebut dalam menghadapi setiap Tahun Baru adalah: barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dia termasuk orang yang beruntung, yang masih sama, termasuk rugi, tapi bagi yang lebih buruk termasuk orang binasa. Hadis Nabi tersebut juga sangat relevan untuk kita gunakan pada setiap datangnya bulan Ramadhan.

Menurut penulis, terdapat beberapa kegunaan menimbang amal kita sebelum memasuki bulan Ramadhan, yaitu:

1. Menjadi acuan evaluasi peningkatan amal baik kita, sejauh mana tingkat ketaatan kita selama kita berkali-kali melewati bulan Ramadhan. Apakah amal kita semakin menurun atau meningkat. Jika kita tidak memiliki ”grafik” amal dalam peta spiritual kita, maka kita akan menjalani hidup ini dengan ketidakpastian langkah untuk menjadi lebih baik. Meski kadar iman tidak konstan, naik-turun, namun jika mengetahui peta amal kita, maka kita menjadi lebih mudah untuk memperbaikinya.

2. Menjadi ”buku pintar” dalam menjalani kehidupan kita selanjutnya. Hasil dari ”rekapitulasi” amal kita melalui introspeksi spiritual yang hanya dimiliki diri kita sendiri dapat dijadikan rujukan atas berbagai pengalaman hidup untuk terus berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan (kemaksiatan). ”Buku pintar” ini sewaktu-waktu dapat dibuka atas berbagai pengalaman hidup yang pahit dan manis untuk kemudian dijadikan pelajaran hidup yang bermakna dalam rangka memperbaiki kualitas hidup kita.

3. Dapat dijadikan sebagai modal untuk membangun kepercayaan diri di hadapan Allah jika suatu saat kita menghadapi kematian. Banyak orang tidak memiliki kepercayaan diri (psimistis) ketika harus menghadapi kematian karena tidak mengerti akan amal baiknya seberapa besar. Namun, jika seseorang telah memiliki peta kekuatan amal, jika baik akan ditingkatkan, jika buruk akan ditinggalkan, maka dia tidak akan takut menghadapi kematian. Apalagi kita tidak dapat menghindar akan kematian.

Oleh karena itu, sebelum datangnya bulan Ramadhan ini, marilah kita merekap atau menghitung amal-amal kita untuk kita jadikan referensi amal di masa mendatang demi kebaikan hidup yang lebih bermakna. Wallahu a’lam bish-shawab◊

Thobib Al-Asyhar, penulis buku, salah satu tim penyusun pidato menag, redaktur www.bimasislam.depag.go.id.

kutipan dari:http://www.bimasislam.depag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=373&catid=49:artikel&Itemid=92&Itemid=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

assalamu'alaikum

radja tv

radio arafah fm kediri

radio islam