BERANDA
Rabu, Januari 14, 2015
pondok sumolangu
Pondok Somalangu Kebumen merupakan
Pondok Pesantren yang telah terhitung
cukup tua keberadaannya..
Karena Pondok Pesantren ini telah ada
semenjak tahun 1475 M. Adapun tahun dan
waktu berdirinya dapat kita ketahui
diantaranya dari Prasasti Batu Zamrud
Siberia (Emerald Fuchsite) berbobot 9 kg
yang ada didalam Masjid Pondok
Pesantren tersebut.
Sebagaimana diketahui menurut
keterangan yang dihimpun oleh para ahli
sejarah bahwa ciri khas Pondok Pesantren
yang didirikan pada awal purmulaan islam
masuk di Nusantara adalah bahwa didalam
Pondok Pesantren itu dipastikan adanya
sebuah Masjid. Dan pendirian Masjid ini
sesuai dengan kebiasaan waktu itu adalah
merupakan bagian daripada pendirian
sebuah Pesantren yang terkait dengannya.
Prasasti yang mempunyai kandungan
elemen kimia Al, Cr, H, K, O, dan Si ini
bertuliskan huruf Jawa & Arab. Huruf Jawa
menandai candra sengkalanya tahun.
Sedangkan tulisan dalam huruf Arab
adalah penjabaran dari candra sengkala
tersebut. Terlihat jelas dalam angka
tanggal yang tertera dengan huruf
Arabic :“25 Sya’ban 879 H”
Ini artinya bahwa Pondok Pesantren Al-
Kahfi Somalangu resmi berdiri semenjak
tanggal 25 Sya’ban 879 H atau bersamaan
dengan Rabu, 4 Januari 1475 M.
Pendirinya adalah Syekh As_Sayid Abdul
Kahfi Al_Hasani.
Beliau semula merupakan seorang tokoh
ulama yang berasal dari Hadharamaut,
Yaman. Lahir pada tanggal 15 Sya’ban 827
H di kampung Jamhar, Syihr. Datang ke
Jawa tahun 852 H/1448 M pada masa
pemerintahan Prabu Kertawijaya Majapahit
atau Prabu Brawijaya I (1447 – 1451).
Jadi setelah 27 tahun pendaratannya di
Jawa, Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-
Hasani barulah mendirikan Pondok
Pesantren Al_Kahfi Somalangu.
Biografi Pendiri
Nama aslinya adalah Sayid Muhammad
‘Ishom Al_Hasani.
Merupakan anak pertama dari 5
bersaudara. Ayahnya bernama Sayid
Abdur_Rasyid bin Abdul Majid Al_Hasani,
sedangkan ibunya bernama Syarifah
Zulaikha binti Mahmud bin Abdullah bin
Syekh Shahibuddin Al Huseini ‘Inath.
Ayah dari Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-
Hasani adalah keturunan ke-22 Rasulullah
saw dari Sayidina Hasan ra, melalui jalur
Syekh As_Sayid Abdul Bar putera Syekh
As_Sayid Abdul Qadir Al_Jaelani
Al_Baghdadi.
Beliau datang dari Bagdad, Irak ke
Hadharamaut atas permintaan Syekh
As_Sayid Abdullah bin Abu Bakar Sakran
(Al_Idrus Al_Akbar) untuk bersama – sama
ahlibait nabi yang lain menanggulangi para
ahli sihir di Hadharamaut.
Setelah para ahli sihir ini dapat
dihancurkan, para ahlibait nabi tersebut
kemudian bersama – sama membuat
suatu perkampungan dibekas basis
tinggalnya para ahli sihir itu.
Perkampungan ini kemudian diberi nama
“Jamhar” sesuai dengan kebiasaan ahlibait
waktu itu yang apabila menyebut
sesamanya dengan istilah Jamhar
sebagaimana sekarang apabila mereka
menyebut sesamanya dengan istilah
“Jama’ah”. Sedangkan wilayah tempat
kampung itu berada kini lebih dikenal
dengan nama daerah Syihr, Syihir, Syahar
ataupun Syahr. Yaitu diambil dari kata
“Sihir” (mengalami pergeseran bunyi
dibelakang hari),
untuk menandakan bahwa dahulu wilayah
tersebut memang sempat menjadi basis
dari para ahli sihir Hadharamaut, Yaman.
Ayah dari Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-
HAsani ini akhirnya tinggal, menetap dan
wafat di Palestina, karena beliau diangkat
menjadi Imam di Baitil Maqdis (Masjidil
Aqsha). Di Palestina beliau masyhur
dengan sebutan Syekh As_Sayid
Abdur_Rasyid Al_Jamhari Al_Hasani.
Makam beliau berada di komplek
pemakaman imam – imam masjid
Al_Quds.
Sedangkan 4 saudara Syekh As_Sayid
Abdul Kahfi Al_Hasani yang lain tinggal
serta menetap di Syihr, ‘Inath serta Ma’rib,
Hadharamaut.
Sayid Muhammad ‘Ishom Al_Hasani
semenjak usia 18 bulan telah dibimbing
dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan
keagamaan oleh guru beliau yang bernama
Sayid Ja’far Al_Huseini, Inath dengan cara
hidup didalam goa – goa di Yaman.
Oleh sang guru setelah dianggap cukup
pembelajarannya, Sayid Muhammad
‘Ishom Al_Hasani kemudian diberi laqob
(julukan) dengan Abdul Kahfi. Yang
menurut sang guru artinya adalah orang
yang pernah menyendiri beribadah kepada
Allah swt dengan berdiam diri di goa
selama bertahun – tahun lamanya.
Nama Abdul Kahfi inilah yang kemudian
masyhur dan lebih mengenalkan pada
sosok beliau daripada nama aslinya
sendiri yaitu Muhammad ‘Ishom.
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani
ketika berusia 17 tahun sempat menjadi
panglima perang di Yaman selama 3
tahun. Setelah itu beliau tinggal di tanah
Haram, Makkah. Kemudian Pada usia 24
tahun, beliau berangkat berdakwah ke
Jawa.
Mendarat pertama kali di pantai Karang
Bolong, kecamatan Buayan, Kabupaten
Kebumen.
Setelah menaklukan dan mengislamkan
Resi Dara Pundi di desa Candi
Karanganyar, Kebumen lalu menundukkan
Resi Candra Tirto serta Resi Dhanu Tirto di
desa Candi Wulan dan desa Candimulyo
kecamatan Kebumen,
beliau akhirnya masuk ke Somalangu.
Ditempat yang waktu itu masih hutan
belantara ini, beliau hanya bermujahadah
sebentar, mohon kepada Allah swt agar
kelak tempat yang sekarang menjadi
Pondok Pesantren Al_Kahfi Somalangu
dapat dijadikan sebagai basis dakwah
islamiyahnya yang penuh barokah
dikemudian hari.
Selanjutnya beliau meneruskan
perjalanannya ke arah Surabaya, Jawa
Timur.
Di Surabaya, Syekh As_Sayid Abdul Kahfi
Al_Hasani tinggal di Ampel. Ditempat itu
beliau diterima oleh Sunan Ampel dan
sempat membantu dakwah Sunan Ampel
selama 3 tahun.
Kemudian atas permintaan Sunan Ampel,
beliau diminta untuk membuka pesantren
di Sayung, Demak. Setelah pesantren
beliau di Sayung, Demak mulai
berkembang Syekh As_Sayid Abdul Kahfi
Al-Hasani kemudian diminta oleh
muballigh – muballigh islam di Kudus agar
berkenan pindah dan mendirikan pesantren
di Kudus.
Problem ini terjadi karena para muballigh
islam yang telah lebih dahulu masuk di
Kudus sempat kerepotan dalam
mempertahankan dakwah islamiyahnya
sehingga mereka merasa amat
membutuhkan sekali kehadiran sosok
beliau ditengah – tengah mereka agar
dapat mempertahankan dakwah islamiyah
di wilayah tersebut.
Setelah Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-
Hasani tinggal di Kudus dan mendirikan
pesantren ditempat itu, Sunan Ampel
kemudian mengirim muridnya yang
bernama Sayid Ja’far As_Shadiq belajar
pada beliau di Kudus.
Tempat atsar pesantren Syekh As_Sayid
Abdul Kahfi Al-Hasani di Kudus ini
sekarang lebih dikenal orang dengan nama
“Masjid Bubrah”
Ketika berada di pesantren beliau ini, Sayid
Ja’far As_Sahdiq sempat pula diminta oleh
beliau untuk menimba ilmu pada ayah
beliau yang berada di Al-Quds, Palestina
yaitu Syekh As_Sayid Abdur Rasyid Al-
Hasani.
Oleh karena itu setelah selesai belajar di
Al-Quds, Palestina atas suka citanya
sebagai rasa syukur kepada Allah Swt
bersama Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-
Hasani, Sayid Ja’far As_Shadiq kemudian
mendirikan sebuah masjid yang ia
berinama “Al-Aqsha”. Oleh Syekh
As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani, Sayid
Ja’far As_Sahadiq kemudian ditetapkan
sebagai imam masjid tersebut dan Syekh
As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani kemudian
pindah ke Demak guna membantu
perjuangan Sultan Hasan Al-Fatah
Pangeran Jimbun Abdurrahman
Khalifatullah Sayidin Panatagama di
Kerajaan Islam Demak
Adapun nama Somalangu sendiri ada
kisah Kata Somalangu muncul dari suatu
ungkapan kalimat dalam bahasa Arab, yang
diakhiri dengan kata “Tsumma Dha’u”.
Yang berarti “Silahkan anda menempati”.
Adapun awal muasalnya kata tersebut
yaitu bermula dari titah R. Hasan Al-Fatah
Sultan Demak pada waktu memberikan
tanah perdikan kepada Syekh As_Sayid
Abdul Kahfi Al_Hasani yang sekarang
ditempati sebagai Pondok Pesantren Al-
Kahfi Somalangu.
Adapun pemberian ini merupakan suatu
bentuk hadiah dari Sultan atas jasa Syekh
As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani dalam
membantu menemukan solusi pemecahan
hukum yang timbul bagi para pengikut
Syekh Siti Jenar dari akibat dikenai
hukuman matinya sang pemimpin mereka.
Lengkap kisahnya begini ;
Syekh Siti Jenar adalah seorang tokoh
pembawa ajaran tasawuf faham hulul atau
wahdatul wujud pada masa pemerintahan
Sultan Al-Fatah, Demak. Faham hulul ini
dalam istilah Jawa dikenal sebagai faham
“Manunggaling Kawulo Gusti”. Yaitu suatu
faham tasawuf yang mengajarkan dapat
terjadinya suatu keadaan penyatuan sifat -
sifat ketuhanan pada diri seorang Salik
(pengamal).
Aliran ini (Syekh Siti Jenar) ditentang oleh
kebanyakan para tokoh ulama tasawuf
yang menganut faham ‘wahdatus syuhud’.
Yaitu faham yang menyatakan bahwa
tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh
seorang Salik hanyalah berupa
kemampuan mengetahui hal - hal yang
dikehendaki oleh Allah Swt. Jadi Si Salik
hanya mampu menjalankan apa yang
dikehendaki oleh Allah Swt bukan
bertindak sebagai “Tuhan”.
Karena faham mayoritas tasawuf
kesultanan Demak waktu itu adalah faham
wahdatus syuhud maka Syekh Siti Jenar
ahirnya diadili oleh Majlis Ulama
Kesultanan.
Vonis hukuman mati dijatuhkan pada
Syekh Siti Jenar karena beliau tidak mau
merubah faham atau setidak - tidaknya
menghentikan faham yang diajarkannya itu
pada ummat.
Pendek kisah, setelah Syekh Siti Jenar
dikenai hukuman mati ahirnya muncul
masalah sosial ditingkat lapis bawah
masyarakat Kesultanan Demak. Mereka
yang selama ini menjadi pengikut Syekh
Siti jenar tetap beranggapan bahwa faham
tasawuf yang mereka anut itu adalah benar
dan mereka tetap bersikap tidak mau
mengikuti faham mayoritas ummat islam.
Para ulama menjadi jengah dengan sikap
mereka itu.
Fatwa - fatwa liar pun bermunculan. Ada
yang memfatwakan bahwa para pengikut
Syekh Siti Jenar ini juga harus dihukum
mati sebagaimana pemimpin mereka jika
tidak bertaubat. Namun ada pula yang
berfatwa bahwa para pengikut Syekh Siti
Jenar itu cukup dibina saja.
Keadaan sosial keagamaan yang runyam
ini berlangsung sampai beberapa saat,
sehingga Kesultanan sampai
mengkhawatirkan terjadinya instabilitas
politik kenegaraan. Sebagai sebuah
kesultanan Islam pertama di Jawa yang
merasa bertanggung jawab pada keadaan
warga serta stabilitas politik maka Sultan
Demak R. Hasan Al-Fatah ahirnya
memprakarsai perlunya pertemuan tokoh -
tokoh ulama (Walisongo dan Ulama
lainnya) dari seluruh seantero kesultanan
Demak untuk memtuskan hukum persoalan
faham “Manunggaling Kawulo Gusti” ini.
Muktamar Ulama itu ahirnya dilaksanakan
dengan mengambil tempat di pusat
Kesultanan Islam Demak yaitu di komplek
Masjid Demak. Pada saat muktamar ini,
hadir pula tokoh Syekh As_Sayid Abdul
Kahfi Al-Hasani.
Dalam Muktamar Ulama untuk “Bahsul
Masail” soal faham “Manunggaling Kawulo
Gusti” itu muncullah perdebatan yang
cukup sengit antara mereka yang
berpendapat bahwa pengikut Syekh Siti
Jenar juga harus dikenai hukuman mati
dengan kelompok ulama yang berargumen
jika pengikut Syekh Sidi Jenar itu cukup
dibina saja dan tidak perlu untuk sampai
dihukum mati. Alasan serta dalil yang
mereka ajukan sama - sama kuat.
Kelompok pertama berargumen para
pengikut Syekh Siti Jenar itu harus
dihukum mati pula sebagaimana
pemimpinnya karena sang pemimpin
dihukum mati juga sebab mengikuti dan
mengajarkan faham “Manunggaling Kawulo
Gusti” itu pada orang lain.
Oleh karenanya siapa saja yang mengikuti
dan mengajarkan ajaran tersebut pada
orang lain juga harus dikenai hukuman
mati.
Sementara itu kelompok yang kedua
mengajukan dasar jika pengikut Syekh Siti
Jenar cukup dibina saja dan tidak perlu
dihukum mati karena tingkat berfikir
mereka yang belum sampai serta terbatas.
Sehingga mereka dalam mengikuti faham
“Manunggaling Kawulo Gusti” itu tidak
sama derajatnya dengan sang pemimpin.
Oleh karenanya hukumannya-pun juga
berbeda dengan yang memimpin.
Beda pendapat ini hampir - hampir saja
menimbulkan persoalan baru dikalangan
para tokoh ulama. Karenanya Sultan R.
Hasan Al-Fatah segera meminta pendapat
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani
tentang cara mengatasi persoalan pelik ini
menurut beliau.
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani
yang semula hanya mendengarkan saja
argumen masing - masing tokoh ulama
dua kelompok tersebut ahirnya angkat
bicara.
“Begini Sultan”
“Menurut pendapat saya, jika para tokoh
ulama ini setuju mari kita kembalikan saja
persoalan ini pada asal akar adanya
persoalan”
Para hadirin diam dan seksama
mendengarkan uraian beliau.
“Akar masalah faham hulul ini adalah
masalah hakekat. Bukan masalah Syariat.”
“Sehingga menurut pendapat saya jika
langsung diputusi dengan cara syariat
tetapi mengabaikan unsur hakekatnya
maka hasilnya akan selalu menimbulkan
perselisihan”
“Yang terbaik menurut saya adalah
mengembalikan hakekat masalah ini
kepada Allah Swt dengan cara Syariat.
Biarlah Allah Swt yang memutuskan
langsung hukum seperti apa yang terbaik
bagi para pengikut Syekh Siti Jenar.”
Sultan-pun bertanya, “Maksud Syaikh
bagaimana?”
“Jika Sultan setuju dan hadirin juga
sepakat, saya usul marilah kita semua
menulis pendapat kita masing - masing
tentang hukuman apa yang perlu
dijatuhkan pada para pengikut Syekh Siti
Jenar pada sebuah deluwang dengan
disertai dalil - dalilnya sesuai dengan
keyakinan serta pengetahuan masing -
masing”
“Agar hati kita terjaga keikhlasannya
dalam memutuskan masalah ini dengan
tanpa ada rasa kebencian pada suatu
golongan maka alangkah baiknya agar
tulisan pada deluwang itu tidak diketahui
isinya selain dirinya sendiri dan Allah
Swt.”
“Sesudah itu, tulisan - tulisan tersebut
digulung dan dimasukkan dalam sebuah
kendi”
“Baru sesudah semuanya selesai, silahkan
salah satu diantara kita yang hadir disini
berkenan untuk memimpin doa. Adapun isi
doanya adalah jika Allah Swt lebih ridha
apabila para pengikut Syekh Siti Jenar
dihukum mati maka mohon Allah Swt
berkenan menghapuskan tulisan - tulisan
yang berisikan bahwa pengikut Syekh Siti
Jenar cukup dibina saja. Demikian pula
jika Allah Swt lebih ridha apabila para
pengikut Syekh Sidi Jenar cukup dibina
saja, maka mohon Allah Swt kiranya
berkenan untuk menghapus seluruh tulisan
yang berisikan bahwa para pengikut Syekh
Sidi Jenar itu harus dihukum mati.”
Sultan R. Hasan Al-Fatah pun mengangguk
- anggukkan kepalanya tanda memahami.
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani
kemudian melanjutkan lagi,
“Ketika salah satu diantara kita yang hadir
disini memimpin doa, saya mohon
semuanya untuk ikhlash mengamini.”
“Sesudah hal itu selesai, maka marilah
tulisan - tulisan tersebut kita buka dan
baca bersama - sama. Manakah yang
terhapus dan manakah yang masih ada”
Ketika pendapat ini selesai diajukan,
semua tokoh ulama sepakat untuk
menerimanya. Sultan-pun ahirnya setuju.
Karena cara pemecahan ini dianggap
sebagai sebuah cara pemecahan terbaik.
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani
ahirnya yang ditunjuk untuk berdoa.
Mungkin salah satu pertimbangannya
adalah karena beliau tidak terlibat konflik
pro - kontra pendapat pada sebelumnya.
Setelah doa dipanjatkan dan isi masing -
masing deluwang yang ada dalam kendi itu
dibuka, ternyata tulisan yang masih ada
adalah tulisan - tulisan pendapat ulama
yang menyatakan bahwa para pengikut
Syekh Siti Jenar itu cukup dibina saja.
Sementara tulisan - tulisan pendapat yang
menyatakan bahwa para pengikut Syekh
Sidi Jenar itu wajib dihukum mati hapus
tak berbekas.
Karena semua ulama yang hadir ditempat
tersebut memang ikhlas ahirnya menerima
hasil tersebut dan bersujud syukur
bersama dari kesalahan mengambil
ketetapan hukum
Sultan R. Hasan Al-Fatah pun senang.
Sebagai imbalan atas jasa dari Syekh
As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani tersebut
kemudian beliau memberikan titah atau
Sabdo Pandito Ratunya dengan
menghadiahkan tanah keberadaan Syekh
As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani sebagai
sebuah tanah perdikan.
Adapun cara Sultan R. Hasan Al-Fatah
memberikan Sabdo Pandita Ratunya waktu
itu dengan menggunakan bahasa Arab yang
diakhiri dengan kalimat “Tsumma
Dha’u” ( ﺛُــﻢَّ ﺿَـﻌُّــﻮْﺍ ). Huruf “Wawu” pada
kalimat tersebut menunjukkan wawu jama’
lit ta’dzim. Sehingga artinya “Silahkan
anda menempati”. Adapun naskah
lengkapnya ada dalam kepustakaan
Pengsuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu.
Untuk mengenang peristiwa ini, ketika
sepulangnya Syekh As_Sayid Abdul Kahfi
Al-Hasani ketempat tinggalnya beliau
ceritakan kejadian tersebut pada para
siswa - siswa beliau.
Oleh karenanya akhirnya mereka
mengingat - ingat peristiwa itu dengan
ungkapan “Tsumma Dha’u”nya. Lama
kelamaan berita ini tersiar ramai
keberbagai tempat.
Ketika itu warga dan santri yang mayoritas
masyarakat Jawa tulen dan belum fasih
mengucap huruf tsa ( ﺙ ) dan dhod ( ﺽ )
ahirnya dalam menirukan ucapan terjadi
salah ejaan. Kalimat tsu menjadi “So” dan
dho menjadi “la”.
Salah ejaan dalam lidah masyarakat Jawa
tempo dulu terhadap pelafadzan Arabic
memang merupakan hal yang belum dapat
dihindari. Kata yang seharusnya diucapkan
“tsu” menjadi “So” dan “Dha” menjadi “la”
adalah hal yg wajar dan umum terjadi.
Contoh kata “Wudhu” menjadi Wulu. Dan
kata “Tsurya” menjadi Surya. Dari sinilah
maka akhirnya kata “Tsumma Dha’u”
menjadi sebuah kata yang memunculkan
nama Somalangu.
Daerah Somalangu sebelum ini dikenal
masyarakat dengan nama daerah “Alang -
Alang Wangi”. Adapun sebab musabab
disebut dengan Alang - Alang Wangi adalah
karena daun alang - alang yang digunakan
sebagai atap Masjid Pondok Pesantren Al-
Kahfi Somalangu menurut kisahnya
memgeluarkan bau harum yang mewangi.
Dan kemudian hari pesantren ini di kenal
sebagai pesantren al kahfi somalangu.
umur beliau kurang lebih mencapai 182
tahun dalam mengasuh pondok pesantren
al kahfi somalangu. Dan mengalami 4
zaman (akhir Mojopahit. Demak. Pajang
dan awal Mataram)
Beliau wafat pada malam jum'at 15
sya'ban 1018 hijriyah/12 november 1609
masehi. Dan di makamkan di bukit lemah
lanang dan beliau lah orang pertama yang
di makam kan di sana .
konon sebelum beliau datang di somalangu
ada peradaban hindu terdapat candi lingga
dan yoni dari abad ke-8M ,konon dulu
banyak candi di somalangu yang sudah
rusak dan sekrang tinggal 2,dan konon
oleh warga somalangu candi ini hendak di
guang di laut bersama sama tetapi apa
yang terjadi candi ini muncul kembali di
situ,dan sekrang jadi cagar budaya.
Pondok Pesntren al kahfi pernah di
kunjungi oleh Hang Tuah seorang ulama
keturunan cina melayu yang datang di
Somalangu ketika dari Mojopahit.
Konon cerita menurut para sesepuh di desa
di somalangu sewaktu penjajahan
belanda,masjid al kahfi somalangu tidak
terlihat oleh pasukan belanda dan mereka
mengira tidak ada apa-apa.
banyak tokoh terkenal yang pada masanya
yang mondok di al kahfi somalangu seperti
putra2 Demak. Djoko Tingkir. Panembahan
Senopati. Pangeran Singosari. Pangeran
Purboyo. Pangeran Juminah. Sultan Agung
Adipati Arungbinang, Pngeran Diponegoro
pernah mondok di Alkahfi somalangu,juga
mbah kh Dalhar watu congol.
masjid al kahfi masih seperti dulu
bangunanya hanya tembok dan halaman
yang di renovasi,mustaka dan tiang masjid
masih asli seperti dulu.konon atap masjid
dulu menggunakan daun illalang yang
mengelurkan bau wangi karna dulu daerah
somalangu di kenal sebagai alang alang
wangi. Di Somalangu banyak terdapat
rumah-rumah kuno zaman dulu yang
masih ada dan di sana ada juga joglo.dan
konon di sungai ada penunggunya yaitu
Sarasuta,
Menurut para warga yang percaya,
peninggalan syekh Abdul Kahfi yaitu kolam
tempat wudu yang konon dulu rumah syekh
Abdul Kahfi,rumah panggung yang
biasanya santri menyebut bangkongreang,
di pintu tertulis kyai bongkong yang konon
dapat berubah menjadi kodok(sebutan
orang jawa untuk katak).
Di utara masjid juga ada mulangan tempat
syekh Abdul Kahfi mengajar dulu.
Dan di sebelah selatan masjid ada bekas
rumah yang hanya tersisah puing-puing
dan pondasinya saja ,konon bekas rumah
Abdul Kahfi awal
Syekh Abdul Kahfi Tsani adalah pendiri
Ponpes Somalangu Kebumen periode ke 2,
setelah sebelumnya pernah berdiri pondok
Somalangu Kuno yang didirikan oleh Syekh
Abdul Kahfi Awal pada masa pemerintahan
Panembahan Senopati ( raja pertama
Mataram Islam ) yang sepeninggal Beliau
kemudian hilang dimakan zaman seiring
dengan tidak adanya regenerasi pada
waktu itu ( Fatroh ) dan juga karena bentuk
bangunan yang masih sangat sederhana.
Syekh Kahfi Tsani adalah salah seorang
putra dari Syaikh Marwan "Ali Menawi "
bin Syaikh Zaenal Abidin Banjursari
Buluspesantren bin Syekh Yusuf
Buluspesantren bin. Syaikh Djawahir bin
Syaik Muhtarom bin Syaikh Abdul Kahfi
Awal.
Sejak kecil, Abdul Kahfi dititipkan oleh
ayahnya di Pondok milik Sayyid Taslim
Tirip Purworejo bin Tolabudin bin Sayyid
Muh. Alim Basaiban Bulus Purworejo.
Di sana Abdul Kahfi dididik berbagai ilmu
tentang Islam. Karena sejak kecil sudah di
asuh oleh Sayyid Taslim, maka tidak heran
jika Beliau juga sudah dianggap seperti
anaknya sendiri, sehingga pada waktu
khitan pun, keluarga Sayyid Taslim lah
yang mengkhitan Beliau.
Setelah dewasa, Sayyid Taslim melarang
Abdul Kahfi untuk tetap bermukim di Tirip,
sebab menurut Beliau, bukan di Tirip lah
seharusnya Abdul Kahfi hidup karena
Sayyid Taslim yakin bahwa kelak Abdul
Kahfi akan menjadi seorang ulama besar di
daerah asalnya seperti Leluhurnya dahulu.
Selanjutnya Sayyid Taslim mengantar
Abdul Kahfi pulang ke Kebumen, akan
tetapi bukan diantar pulang ke Banjursari
( tempat orangtuanya ) melainkan ke desa
Somalangu. Sesampainya di desa
Somalangu, Sayyid Taslim
memberitahukan kepada Abdul Kahfi
bahwa didesa inilah dahulu pendahulunya
( Syekh Kahfi Awal ) bermukim dan
mendirikan Pondok.
Sayyid Taslim juga memberitahukan bekas
Pondok Syekh Kahfi Awal yang pada waktu
itu sudah tinggal pondasinya saja. Lokasi
tersebut saat itu barada di atas tanah yang
telah menjadi milik salah seorang
penduduk setempat. Tanah tersebut
kemudian dibeli oleh Sayyid Taslim dari
pemilik waktu itu dan memberikannya
kepada murid kesayangan Beliau yang
sudah seperti putranya sendiri itu dan
berpesan agar Abdul Kahfi bermukim
ditempat itu dan membangun kembali
pondok untuk meneruskan syiar Islam
pendahulunya.
Sejak itulah pondok Somalangu baru
( periode ke 2 ) berdiri. Untuk membedakan
maka kemudian ditambahlah nama "Awal "
di belakang Abdul Kahfi pendiri pondok
pertama dan nama " Tsani " di belakang
Abdul Kahfi pendiri pondok
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
assalamu'alaikum